PESAN SRI PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI
KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE-48
31 Januari 2014
Pesan
Sri Paus Fransiskus Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-48
“KOMUNIKASI: BUDAYA PERJUMPAAN
YANG SEJATI”
1 Juni 2014
Saudara-saudari terkasih,
Dewasa
ini kita hidup dalam suatu dunia yang tumbuh semakin “kecil” dan di mana,
sebagai hasilnya, nampaknya lebih mudah bagi kita sekalian untuk menjadi
sesama. Perkembangan dalam teknologi perjalanan dan komunikasi lebih
mendekatkan kita bersama dan membuat kita lebih terhubungkan, karena
globalisasi semakin membuat kita saling bergantung. Biarpun demikian,
pemisahan-pemisahan, yang seringkali demikian mendalam, terus menerus hadir
dalam keluarga manusiawi. Pada tataran global kita melihat suatu kesenjangan
yang mencengangkan antara kelimpahan kaum kaya raya dan keterbuangan yang
menganga dari kaum miskin. Kita hanya perlu menjalani jalan-jalan dari sebuah
kota untuk melihat perbedaan antara orang-orang yang hidup di jalanan dan
cahaya yang berkilauan dari jendela-jendela kawasan perdagangan. Kita sudah
menjadi biasa dengan hal-hal ini, sehingga tidak lagi mengusik kita. Dunia kita
menderita banyak bentuk dari pengasingan, keterpinggiran dan kemiskinan, tanpa
mengutarakan perselisihan-perselisihan yang muncul dari suatu kombinasi dari
alasan-alasan ekonomi, politik dan ideologi, serta sayangnya, juga agamawi.
Dalam sebuah dunia seperti ini, media dapat membantu kita
untuk merasa lebih dekat satu sama lain, dengan menciptakan suatu makna
persatuan dari keluarga manusiawi yang pada gilirannya dapat mengilhami
solidaritas dan upaya-upaya serius untuk menjamin suatu hidup yang lebih
bermartabat bagi semua orang. Komunikasi yang baik membantu kita tumbuh lebih
dekat, saling mengenal lebih baik, dan akhirnya, berkembang dalam persatuan.
Tembok-tembok yang memisahkan kita, hanya dapat diruntuhkan jika kita bersedia
untuk mendengarkan dan belajar satu sama lain. Kita perlu menyelesaikan
perbedaan-perbedaan melalui bentuk-bentuk dialog yang membantu kita berkembang dalam
sikap saling memahami dan menghargai . Suatu budaya perjumpaan menuntut bahwa
kita tidak saja siap sedia untuk memberi, tetapi juga menerima. Media dapat
sangat membantu kita dalam hal ini, terutama dewasa ini, sewaktu jejaring
komunikasi manusiawi mengalami kemajuan yang tak terkirakan. Internet khususnya
mempersembahkan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas bagi perjumpaan dan
solidaritas. Ini adalah sesuatu yang sejatinya baik, suatu pemberian dari
Allah.
Hal
ini tidak untuk mengatakan bahwa persoalan-persoalan tertentu tidak ada.
Kecepatan penyampaian informasi melampaui kemampuan kita untuk berefleksi dan
menilai, dan hal ini tidak membuat bentuk-bentuk yang tepat dan lebih seimbang
untuk mengungkapkan diri. Keragaman pendapat yang tertayangkan dapat dipandang
sebagai sesuatu yang membantu, tetapi juga membuka kemungkinan bagi orang untuk
membentengi dirinya sendiri di balik sumber-sumber informasi yang hanya
memperkuat keinginan-keinginan dan cita-cita, atau kepentingan politik dan
ekonomi sendiri. Dunia komunikasi dapat membantu kita entah memperluas
pengetahuan kita atau menjadikan kita tersesat. Keinginan akan keterhubungan
digital dapat membawa dampak yang mengasingkan kita dari sesama kita, dari
mereka yang paling dekat dengan kita. Kita tidak seharusnya menyepelekan
kenyataan bahwa mereka yang atas alasan apapun kehilangan akses pada media
sosial, berada dalam bahaya tertinggal.
Biarpun kelemahan-kelemahan ini
memang nyata, mereka tidak membenarkan untuk menolak media sosial; sebaliknya,
mereka mengingatkan kita bahwa komunikasi pada akhirnya berwatak manusiawi
lebih daripada pencapaian teknologis. Jadi, apa yang membantu kita dalam
lingkungan digital untuk berkembang dalam kemanusiaan dan sikap saling
memahami? Kita perlu misalnya untuk menemukan kembali suatu makna tertentu dari
kebebasan dan ketenangan. Hal ini meminta waktu dan tenaga untuk berdiam diri
dan mendengarkan. Kita juga perlu bersabar jika kita ingin memahami mereka yang
berbeda dengan kita. Orang hanya mengungkapkan diri sepenuhnya sewaktu mereka
tidak hanya menemukan tenggang rasa, tetapi tahu bahwa mereka benar-benar
diterima. Jika kita benar-benar peka mendengarkan orang lain, kita akan belajar
untuk memandang dunia dengan mata berbeda dan siap menghargai kekayaan pengalaman
manusiawi, sebagaimana terungkap dalam budaya-budaya dan tradisi-tradisi yang
berbeda. Kita juga akan belajar untuk menghargai lebih penuh nilai-nilai utama
yang diilhami oleh Kristianitas, seperti pandangan tentang pribadi manusia,
kodrat perkawinan dan keluarga, pembedaan yang benar antara lingkup agamawi dan
politik, prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas, dan banyak lagi hal
lain.
Bagaimana komunikasi dapat hadir demi suatu budaya sejati
dari perjumpaan? Apa artinya bagi kita, sebagai murid-murid Tuhan, berjumpa
dengan orang lain dalam terang Injil? Meskipun keterbatasan-keterbatasan dan
kedosaan kita, bagaimana kita sesungguhnya menjadi dekat satu sama lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini tersimpulkan dalam apa yang seorang ahli kitab –
seorang komunikator - pernah mempertanyakan kepada Yesus: “Dan siapakah
sesama-ku?” (Lk 10:29). Pertanyaan ini dapat membantu kita untuk melihat
komunikasi dalam istilah “kesesamaan”. Mungkin kita dapat mengkalimatkannya
sebagai berikut: Bagaimana kita dapat menjadi “sesama” dalam penggunaan media
komunikasi dan dalam lingkungan baru yang diciptakan oleh teknologi digital?
Saya menemukan suatu jawaban dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik, yang
juga merupakan sebuah perumpamaan tentang komunikasi. Orang-orang yang
mengadakan komunikasi, nyatanya, menjadi sesama. Orang Samaria yang baik tidak
hanya lebih mendekatkan orang yang ia temukan setengah mati di pinggir jalan;
dia mengambil tanggungjawab baginya. Yesus mengalihkan pemahaman kita: itu
bukan saja perihal memandang orang lain sebagai seseorang seperti diri saya
sendiri, tetapi kemampuan untuk membuat diri saya seperti orang lain.
Komunikasi sesungguhnya menyangkut kesadaran bahwa kita sekalian adalah makhluk
manusiawi, anak-anak Allah. Saya ingin memandang kemampuan komunikasi sebagai
“kesesamaan”.
Manakalah komunikasi pertama-tama bertujuan untuk
memajukan konsumsi atau memanipulasi orang-orang lain, kita berhadapan dengan
suatu bentuk penyerangan yang kejam seperti apa yang diderita oleh orang dalam
perumpamaan itu, yang dipukuli oleh perampok dan ditinggalkan di jalan. Orang
Levi dan imam tidak memandang dia sebagai seorang sesama, tetapi sebagai
seorang asing yang tidak boleh dijamah. Dalam masa itu, peraturan dari
kemurnian ritual yang mengkondisikan jawaban mereka. Dewasa ini terdapat
seorang asing yang media tertentu mengkondisikan jawaban-jawaban kita, sehingga
kita gagal memandang sesama kita yang sebenarnya.
Tidaklah cukup untuk lalu lalang dalam jalan bebas
hambatan digital, asalkan “terhubungkan”; keterhubungan perlu berkembang
menjadi rekan-rekan perjumpaan yang sejati. Kita tidak dapat hidup terpisah,
tertutup dalam diri kita sendiri. Kita perlu mencintai dan dicintai. Kita perlu
kelembutan. Strategi-strategi media tidak menjamin kecantikan, kebaikan dan
kebenaran dalam komunikasi. Dunia media juga harus peduli akan kemanusiaan;
media juga dipanggil untuk menunjukkan kelembutan. Dunia digital dapat menjadi
suatu lingkungan yang kaya dalam kemanusiaan; suatu jejaring bukanlah untaian
kabel-kabel, tetapi hubungan orang-orang. Ketidak-berpihakan media hanyalah
suatu penampilan; hanya orang-orang yang keluar dari dirinya sendiri dalam
komunikasi dapat menjadi titik rujukan yang benar bagi orang-orang lain.
Keterlibatan pribadi adalah dasar dari kepercayaan dari seorang komunikator.
Kesaksian Kristiani, terima kasih atas internet, olehnya dapat mencapai kawasan
pinggiran dari keberadaan manusiawi.
Sebagaimana saya sering mengamati,
jika suatu pilihan harus dilakukan antara sebuah gereja memar yang pergi keluar
ke jalan-jalan dan sebuah gereja yang menderita karena kepuasan diri, maka
pasti saya lebih menyukai yang pertama. “Jalan-jalan” itu adalah dunia di mana
orang-orang hidup dan di mana mereka dapat dijumpai, baik secara efektif maupun
secara afektif. Jalan bebas hambatan digital adalah salah satunya, sebuah jalan
yang digandrungi oleh orang-orang yang sering terlukai, laki-laki dan
perempuan, yang mencari keselamatan atau pengharapan. Dengan sarana internet,
pesan Kristiani dapat menjangkau “sampai ke ujung bumi”(Kis 1:8). Dengan menjaga
pintu-pintu gereja-gereja terbuka juga berarti menjaganya terbuka dalam
lingkungan digital, sehingga orang-orang, apapun keadaan hidupnya, dapat masuk,
dan demikian Injil dapat pergi menjumpai setiap orang. Kita dipanggil untuk
menunjukkan bahwa Gereja adalah rumah semua orang. Apakah kita mampu
menayangkan gambaran dari sebuah Gereja demikian? Komunikasi adalah suatu
sarana untuk mengungkapkan panggilan misioner dari seluruh Gereja; dewasa ini
jejaring sosial adalah salah satu jalan untuk mengalami panggilan ini guna
menemukan kembali keindahan dari iman, kecantikan perjumpaan dengan Kristus.
Dalam lingkup komunikasi juga, kita perlu sebuah Gereja yang mampu membawa
kehangatan dan menggerakkan hati.
Kesaksian Kristiani yang efektif bukanlah tentang mencekoki
orang-orang dengan pesan-pesan agamawi, tetapi tentang kerelaan kita untuk siap
sedia bagi orang-orang lain “dengan menanggapi secara sabar dan penuh hormat
pertanyaan-pertanyaan dan keragu-raguan yang mereka ajukan guna mencari
kebenaran dan makna keberadaan manusiawi” (Benediktus XVI, Pesan Hari
Komunikasi Sedunia ke-47, 2013). Kita cukup mengingat kembali kisah murid-murid
dalam perjalanan ke Emmaus. Kita harus mampu berdialog dengan laki-laki dan
perempuan semasa, untuk memahami kecemasan, keraguan dan pengharapan mereka,
dan memperkenalkan Injil, Yesus Kristus sendiri, Allah yang menjelma, yang
wafat dan bangkit untuk membebaskan kita dari dosa dan kematian. Kita ditantang
untuk menjadi orang-orang berkerohanian, peka terhadap apa yang terjadi sekitar
kita dan siap sedia secara rohaniah. Berdialog berarti percaya bahwa “orang
lain” mempunyai sesuatu yang pantas disampaikan, dan menyenangi pandangan dan
perspektifnya. Dengan melibatkan dalam dialog tidak berarti mengesampingkan
ide-ide dan tradisi-tradisi kita sendiri, tetapi menampik pendakuan bahwa hanya
milik kita yang sah atau mutlak. Semoga gambaran Orang Samaria yang baik yang
peduli akan luka-luka dari orang itu dengan menuangkan minyak dan anggur
atasnya menjadi inspirasi kita. Biarlah komunikasi kita menjadi sebuah balsam
yang meringankan rasa sakit dan anggur enak yang meriangkan hati. Semoga terang
yang kita bawa kepada orang-orang lain tidak merupakan buah hasil kosmetik atau
akibat-akibat khusus, tetapi “kasih dan belaskasih “bersesama” kita akan mereka
yang terluka dan ditinggalkan di tepi jalan. Biarlah kita dengan berani menjadi
warga dari dunia digital. Gereja perlu menjadi peduli dan hadir dalam dunia
komunikasi, agar berdialog dengan orang-orang semasa dan membantu mereka
berjumpa dengan Kristus. Dia perlu menjadi sebuah Gereja yang berpihak pada
orang-orang lain, mampu menemani siapa saja sepanjang jalan. Revolusi yang
terjadi dalam media komunikasi dan dalam teknologi informasi menghadirkan suatu
tantangan yang besar dan mendebarkan hati; semoga kita menanggapi tantangan itu
dengan tenaga dan imaginasi yang segar, sewaktu kita berupaya untuk berbagi
kecantikan Allah bersama orang-orang lain.
Vatikan, 24 januari 2014, Pesta St.
Fransiskus dari Sales.
PAUS
FRANSISKUS
Alihbahasa oleh Uskup P.
Turang.