KOMUNIKASI:
JALAN MENUJU PERJUMPAAN YANG SEJATI
07 Februari 2014
Refleksi
atas pesan Sri Paus Fransiskus untuk Minggu Komunikasi ke-48
Pengantar
Hari
Minggu Komunikasi Sedunia lahir berdasarkan anjuran Konsili Vatikan II (Inter
Mirifica). Dirayakan di sebagian besar negara di seluruh dunia pada hari Minggu
sebelum Hari Raya Pentakosta. Paus Fransiskus mengeluarkan pesan perdana untuk
Minggu Komunikasi Sedunia yang ke-48 bertajuk “Komunikasi: Budaya Perjumpaan
yang Sejati” yang diumumkan pada Peringatan Santo Fransiskus dari Sales,
pelindung Komunikasi Sosial.
Dunia
modern yang kontras
Bapa Suci memulai pesannya dengan
sebuah refleksi yang mendalam tentang dunia. Paus melihat dunia saat ini
semakin “dekat”. Hal ini bisa disebabkan oleh pesatnya perkembangan
transportasi dan juga karena kemajuan media komunikasi. Hanya dengan satu
“klik” manusia bisa saling menyapa sahabatnya yang tinggal di benua lain.
Di sisi lain, Paus juga menyadari
bahwa saat ini terbentang jurang pemisah antara mereka yang hidup berkelimpahan
dengan mereka yang menderita kelaparan, antara mereka yang hidup dalam
gemerlapnya cahaya lampu dengan mereka yang melewati malam tanpa cahaya lampu.
Pengalaman seperti itu ada di sekitar
kita, bahkan mungkin kita termasuk berada di salah satu dari dua sisi kehidupan
yang ektrim itu. Karena kita sering melihatnya, bahkan juga pelakunya, warna
kehidupan seperti itu tidak lagi dianggap sebagai persoalan. Maka boleh
dibilang bahwa dunia modern saat ini semakin “terbelakang” dimana orang hidup
makin ekslusif, menutup mata terhadap penderitaan sesamanya.
Citarasa
kebersamaan
Berhadapan dengan realitas kehidupan
seperti itu, Sri Paus memberi harapan pada media sosial. Media sosial
diharapkan mampu menciptakan citarasa kebersamaan, menumbuhkan semangat
solidaritas. Dinding-dinding kesenjangan dirobohkan dengan menciptakan situasi
komunikasi saling mendengarkan dan berani belajar dari kebenaran yang dimiliki
pihak lain. Itu berarti, dalam komunikasi kita tidak hanya memberi pendapat,
tetapi juga menerima pendapat yang berbeda.
Secara khusus, Bapa Suci memberikan
perhatian pada internet, wahana komunikasi yang bisa menciptakan “ruang
publik”, yang memungkinkan terjadinya perjumpaan antar pribadi dan munculnya
solidaritas bersama.
Sri Paus juga mengakui bahwa penyebaran informasi kadang
melampaui batas-batas kemampuan manusia untuk berefleksi dan menilai. Hal ini
bisa menghalangi ekspresi diri yang lebih seimbang. Ragam pendapat yang
dipublikasikan bisa bermanfaat, tetapi juga dapat membuat orang membentengi
diri di belakang kebenaran informasi yang masih diragukan validitasnya.
Bagaimana supaya wahana komunikasi
melalui internet bisa membantu kita bertumbuh dalam nilai kemanusiaan dan
mengembangkan citarasa saling pengertian?
Menurut Bapa Suci, dibutuhkan “sikap batin” yang hening
untuk mempertimbangkan banyak hal dan memutuskan sesuatu secara tepat dan
benar. Terbuka dan tulus menerima orang lain apa adanya.
Rumah
Bersama
Pemanfaatan media komunikasi bukan
hanya sebatas komunikasi melalui kabel, tetapi wahana yang menghubungkan antara
pribadi menjadi sebuah komunitas kebersamaan. Perjumpaan pribadi ini menjadi
aspek penting dalam komunikasi yang dibangun di atas rasa saling percaya.
Paus Fransiskus yang memiliki
semangat pembaharuan dalam karya pastoral Gereja, menghendaki agar Gereja
Katolik menjadi Gereja yang terbuka terhadap perkembangan termasuk terhadap
dunia digital. Gereja perlu masuk di dalamnya untuk menjumpai manusia dengan
aneka persoalan yang perlu di dengar dan ditanggapi.
Keterbukaan Gereja dalam tampilannya
baik terhadap realitas semerawutnya kehidupan manusia di dunia nyata maupun di
dunia digital menunjukkan wajah baru dari Gereja sebagai “rumah” untuk semua
orang. Gereja saat ini ditantang menjadi Gereja yang tanggap dengan situasi
sosial, memiliki hati untuk terlibat dan melebur diri dalam perjumpaan dengan
mereka yang terhimpit dengan pelbagai problem kehidupan.
Dalam zaman modern kita saat ini, sebuah
budaya baru sedang berkembang pesat berkat teknologi, dan komunikasi dalam arti
tertentu “diperkuat” dan “berkelanjutan”. Kita dipanggil untuk “menemukan kembali, melalui
sarana komunikasi sosial serta melalui kontak pribadi, keindahan yang berada
pada intisari keberadaan dan pengembaraan kita, keindahan iman dan keindahan
perjumpaan dengan Kristus”. (Amanat Paus Fransiskus kepada para
peserta Musyawarah Paripurna Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, 21
September 2013).
Lebih lanjut Bapa Suci memberikan
harapan “untuk
mendayagunakan teknologi modern dan jejaring sosial sedemikian rupa sehingga
mengungkapkan suatu kehadiran yang mendengarkan, mempercakapkan dan mendorong”.
Seturut konteks ini, masing-masing kita harus menerima tantangan untuk menjadi
pribadi sejati dengan memberi kesaksian tentang berbagai nilai, identitas
kristiani, pengalaman budaya, yang diungkapkan dengan bahasa baru dan dengan
berbagi kepada orang lain.
Kecakapan berkomunikasi merupakan
intisari dari apa artinya menjadi manusia. Dalam dan melalui komunikasi itulah
kita mampu bertemu dan berjumpa dengan orang lain pada suatu tatanan yang sarat
makna, menyingkapkan siapa diri kita, apa yang kita pikirkan dan yakini,
bagaimana kita ingin hidup. Barangkali yang lebih penting lagi, bagaimana kita
dapat mengenal orang-orang bersama siapa kita dipanggil untuk hidup?
Komunikasi semacam itu menuntut
kejujuran, penghormatan timbal balik dan komitmen untuk belajar satu dari yang
lain.
Amanat untuk Hari Komunikasi Sedunia
Tahun 2014 menggali potensi komunikasi, terutama dalam sebuah dunia yang
berjejaring dan terhubung, guna membawa orang lebih dekat satu sama lain dan
untuk bekerja sama dalam tugas membangun sebuah dunia yang lebih berkeadilan.
Senada dengan ide dari para pendahuluanya, Paus Fransiskus memberi apresiasi
akan kematangan Gereja dalam menyikapi perkembangan isu-isu di bidang
komunikasi.
Penutup
Dalam amanat ini, tampak jelas
kemunculan citra sebuah Gereja yang ingin berkomunikasi, yang ingin masuk ke
dalam dialog dengan kaum lelaki dan perempuan dewasa ini, lantaran menyadari
peran yang telah dipercayakan kepadanya dalam konteks ini. Sri paus telah
berulang kali menyinggung tema budaya perjumpaan, seraya mengundang Gereja dan
para anggotanya untuk menghadapi berbagai dimensi dan kebutuhan khusus bagi
budaya ini. Dalam teks amanat ini dua gelombang panjang yang luas dapat
diamati. Bagian pertama amanat diarahkan
kepada jagat komunikasi dalam konteks awam, dimana Sri Paus menyajikan
refleksi-refleksi yang berguna bagi mereka yang belum mengambil pilihan
religius dalam hidup mereka, namun demikian tetap dipanggil untuk melihat atau
sudah menyadari nilai keinsanian yang mendalam dari jagat komunikasi.
Namun, saat menyapa para murid Tuhan
maka amanat ini memperlihatkan nada, kedalaman serta frekuensinya yang khas,
sembari mengedepankan rujukan kepada perumpamaan tentang orang Samaria yang
baik. Itu sangat menggugah emosi, karena hal itu membantu kita untuk memahami
komunikasi dalam kerangka kedekatan dengan orang lain.
Dari perspektif itu, maka muncullah
sebuah tantangan bagi kita semua yang senantiasa terus berjuang untuk menjadi
murid Tuhan. Yakni, bagaimana bisa mendayagunakan keberadaan jejaring digital
ini menjadi wahana yang kaya demi pengembangan kemanusiaan. Itu karena jejaring
ini bukanlah tentang kabel, melainkan menyangkut orang.
RD.
Kamilus
Sekretaris
KOMSOS KWI