Kaka Wock

Kaka Wock
SARTINA (SAHABAT ARTIKEL INDONESIA) - Ruang Blog Untuk Menginspirasikan Wawasan Dan Berbagi Pengetahuan. Salam Kaka Wock !!!

Kamis, 06 Februari 2014

BIOGRAFI Fr Stefanus Kobesi, Alm.




BIOGRAFI
Fr Stefanus Kobesi, Alm.
Lentera Telah Redup
Sudah jauh ia terbang
Sambil membawa lentera yang terang benderang
Sejenak  langkahnya terhenti menyaksikan liukan cendrawasih
Sempat menimba petuah
Namun, ia redup bersama akhir matahari

Noemuti, tempat dimana ia dilahirkan. Kampung yang “subur panggilan” di pelosok pulau Timor, Kabupaten Timor Tengah Utara. Dua puluh satu tahun lebih satu bulan yang lalu, tepat 28 Desember 1992, seorang bayi laki-laki, berhidung mancung, berambut keriting, kulit bening bersih, lahir dalam kebahagiaan dua pasangan Bapak Agustinus Kobesi dan Ibu Rita Kosat. Rasanya kebahagiaan itu menjadi sempurna setelah gaung kelahiran Putera Allah pada perayaan Natal dikumandangkan.
Entah apa gerangan yang menggerakkan pasangan itu, sehingga bayi mungil ini kemudian diberi nama, Stefanus Kobesi. Nama Stefanus yang disandang, terinspirasi dari nama seorang martir pertama dalam sejarah kekristenan, sementara Kobesi, merupakan identitas menurut garis keturunan ayah. Dua makna besar tersemat dalam identitas dirinya; identitas seorang tokoh terkenal dalam Gereja Katolik dan identitas garis keturunan. Efen, sapaan akrabnya merupakan putera kedua setelah Sirilus Antoin Kobesi. Kebahagiaan keluarga semakin lengkap dengan kelahiran anak perempuan bungsu yang diberi nama Frederika Roswita Kobesi.
Jejak Juang
Penanaman budaya hidup religius mendapat porsi yang cukup istimewa. Tentunya disertai suatu harapan bahwa nilai hidup tersebut menjadi kompas untuk menemukan kesejatian hidup di dalam Tuhan. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan katolik menjadi pilihan untuk memulai menapaki perjuangan hidup. Ketika menginjak usia 4 tahun 6 bulan, orang tuanya dengan penuh harap memasukkannya ke TK Sta. Maria Immaculata Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Setelah dinyatakan berhasil, pada 1997 anak yang dikenal pering ini diterima di SD Yaswari Niki-Niki, suatu lembaga pendidikan katolik yang dikelola oleh Keuskupan Agung Kupang. Pendidikan berlanjut di SMP St. Aloysius  Niki-Niki dari tahun 2004 hingga 2006.
Setelah sekian lamanya, ia mengenyam pendidikan dasar di TTS, terbersitlah niat untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang baru. Stefanus secara mengejutkan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sebagai seorang calon imam. Anak yang akrab disapa steko di antara teman seasramanya ini memilih sekolah pembinaan calon imam di Kota Karang, Kota Kupang Seminari Menengah St. Rafael Oepoi, mengikuti jejak kakak Sirilus Kobesi yang lebih setahun ada di sana. Selama dalam proses pembinaan, ia telah dihadapkan dengan suatu pengalaman pahit. Sosok ayahnya yang penuh perhatian dipanggil oleh Sang Khalik. Momen tesebut disatu pihak bisa memudarkan semangat, tetapi dipihak lain memacu dirinya untuk memberikan yang terbaik kepada anggota keluarga, walau masih dalam proses perjuangan yang panjang. Akhirnya, atas dasar keputusan dan refleksi pribadinya, ia memilih Projo Keuskupan Agung Merauke tempat orientasi perjalanan panggilannya menjadi seorang imam. Pada paruh kedua 2010, bersama sembilan teman lainnya, mereka mengikuti pembinaan di TOR Lo’o Damian, Atambua.
Berkisah di Bumi Cenderawasih
Sebelumnya, tempat Fr Steko meniti ilmu masih bisa ditempuh dengan jalan darat. Tetapi konsekuensi atas niat sucinya untuk menjadi imam, ia berani mengepak sayap ke bumi cenderawasih, Papua. Proses pembentukan untuk menjadi pribadi yang taat dihadapinya dengan senyum. Keputusan Uskup Agung Merauke, Nicholaus Adi Seputra MSC agar para calon imamnya ditempa di Papua, diterima dengan penuh semangat. Lembaga pembinaan calon imam Seminari Tinggi Interdiosesan ‘Yerusalem Baru’ dan lembaga pendidikan akademik STFT ‘Fajar Timur’ Abepura, Jayapura, merupakan tempat baginya bersama kesembilan teman lain untuk dipersiapkan menjadi pelayan umat Allah di tanah Papua.
Suatu langkah penuh keberanian telah diambil oleh sepuluh pemuda, termasuk Stefanus, untuk meninggalkan pulau Timor demi mengejar panggilan suci di bumi Cenderawasih, Papua. Kenangan 15 Juli 2011 menjadi bahan cerita yang penuh makna, karena pada waktu itu Fr Steko bersama teman-teman seangkatan untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di tanah Papua setelah melewati 14 hari lamanya di dalam perjalanan. Liukan sayap cenderawasih yang mempesona membuat sosok Fr Steko selalu tersenyum ketika berhadapan dengan setiap orang yang dijumpainya. Aroma wangi cendana di tanah Timor menjadikannya sebagai pribadi yang mudah bergaul, tanpa membeda-bedakan.
Rasanya, pesona cenderawasih yang telah berpadu dengan aroma cendana memberikan semangat untuk selalu setia menjawabi panggilan Tuhan. Semuanya tampak dalam kesaksian hidup bersama di Kampus dan Asrama. Santai tapi pasti, tenang, periang, idealis, sederhana, dan canda berbau logika, itulah yang selalu menghiasi hidup pergaulannya. Sikap ramah sambil bersenyum manis, tidak dendam, tidak mudah terbakar emosi, itulah yang membuat dirinya disenangi di dalam pergaulan.
Lentera Meredup
Pada Minggu, 26 Januari 2014, mahasiswa semester enam di STFT Fajar Timur ini bersama kedua rekannya memutuskan untuk mengikuti rekreasi bersama umat Kombas St. Ignasius, Paroki Sang Penebus Sentani di pantai Amay Jayapura. Ingin sekali rasanya menghilangkan segala kepenatan dalam dirinya dengan bersenang-senang. Tetapi ternyata semuanya terasa sangat terbalik. Ia hadir dengan tingkah yang unik, tidak seperti biasanya. Mungkin saja itu adalah tanda-tanda terakhir penuh pesan yang tak mampu ditanggapi oleh peserta rekreasi, bahkan kedua rekannya sendiri.
Keceriaan yang ditampakkan tak disangka-sangka akan menjadi momen terakhir. Secara mengejutkan, ia menghilang dari kebersamaan di pantai dan tak seorang pun yang tahu arah jejaknya. Tak ada kata yang sempat terucap. Ia pergi tanpa pesan. Di kala matahari mulai menuju peraduannya, ternyata lentera hidupnya pun ikut meredup bersama sang waktu. Momen makan siang di pantai Amay saat itu menjadi momen terakhir baginya. Kepakan sayapnya terhenti dan tak tahu entah dimana jatuhnya.
Situasi penuh ketakutan segera tampak, ketika peserta rekreasi tidak menemukan lagi sosok Steko. Berbagai macam usaha mulai dilakukan, tetapi semuanya nihil. Segenap umat kombas bersama dengan BASARNAS yang turut dilibatkan dalam pencarian terhadap keberadaan Steko tidak membuahkan hasil. Di tengah cekamnya suasana itu selalu ada harapan semoga ia ditemukan kembali dalam keadaan yang utuh. Ternyata dugaan itu salah.
Pada Senin 27 Januari 2014 usaha untuk mendapatkan sosok Steko terus diperjuangkan. Tepat pukul 09.30 WIT, tim SAR menemukannya dalam keadaan tak bernyawa lagi, dengan posisi terapung di air laut yang tidak jauh dari bibir pantai. Isak tangis menjadi tak tertahankan menyaksikan kisah tragis itu. Lenteranya terpadamkan secara mengerikan. Lembaran hidup ditutup tanpa bisa diduga oleh manusia.

Penulis Naskah            : Fr Gendry Nuga & Fr Hardy Baslone
Pengedit Naskah         : Thino Lonis



NYANYIAN JIWA YANG KELABU
Sobat...
Di pelataran Bumi Cendrawasih ini kita telah banyak berkisah tentang hidup dan cita kita bersama. Engkau dan kami adalah kita yang satu dalam kasih, satu dalam cita, dan satu dalam harapan untuk mengejar sebuah mimpi terindah. Kami bahagia, kami bangga, dan kami suka berada bersamamu serta ingin untuk lebih lama lagi merajut kisah-kisah itu.
Namun...
Hari ini jiwa kami berkabut kelabu karena kisah-kisah itu telah menjadi kenangan di antara duniamu dan duniaku. Senyum, tawa, ocehan, canda logika, dan lantunan lagu-lagu ‘galau’ yang diiringi petikan gitarmu terus terngiang merdu dalam benak kami semua yang mencintaimu. Kami sangat menginginkan untuk menghadirkan kembali bayang-bayang itu dalam sebuah rona bermata pelangi yang senantiasa saling bertatapan untuk saling berbagi.
Tapi entalah...
Tuhan telah menghendaki semuanya untuk menjadi legenda di antara kita. Kami sedih, kami menangis, kami menyesal, kami kecewa, kami sakit. Jiwa dan raga ini terasa seakan tersayat sembilu berbaur duka yang mendalam kala hati ini sedang mengenang dan merindumu. Pedih dan perih memang ketika ‘mawar putih’ nan indah dan harum mewangi, yang selama ini terpantul dari kedalaman jiwamu telah berubah menjadi ‘mawar hitam’ berlumur darah. Keindahan dan keharumanmu sirnah begitu saja ditelan oleh sejuta misteri kematian yang sampai saat ini masih membersitkan tanya. Sepenggal kalimat yang pernah kau tulis: “kami datang dengan begitu banyak harapan, ada yang telah melepaskan harapan itu, namun ada juga yang tetap setia mengejar dan ingin mencapai harapan itu.
SELAMAT JALAN STEKO, DOA KAMI MENYERTAIMU MENUJU RUMAH BAPA. REST IN PEACE
                                                                       
Penulis Naskah            : Fr Gendry Nuga & Fr Hardy Baslone
Pengedit                      : Thino Lonis