BIOGRAFI
Fr
Stefanus Kobesi, Alm.
Lentera Telah Redup
Sudah jauh ia terbang
Sambil membawa lentera yang terang
benderang
Sejenak langkahnya terhenti menyaksikan liukan
cendrawasih
Sempat menimba petuah
Namun, ia redup bersama akhir
matahari
Noemuti,
tempat dimana ia dilahirkan. Kampung yang “subur panggilan” di pelosok pulau
Timor, Kabupaten Timor Tengah Utara. Dua puluh satu tahun lebih satu bulan yang
lalu, tepat 28 Desember 1992, seorang bayi laki-laki, berhidung mancung,
berambut keriting, kulit bening bersih, lahir dalam kebahagiaan dua pasangan
Bapak Agustinus Kobesi dan Ibu Rita Kosat. Rasanya kebahagiaan itu menjadi
sempurna setelah gaung kelahiran Putera Allah pada perayaan Natal
dikumandangkan.
Entah apa gerangan yang menggerakkan pasangan itu,
sehingga bayi mungil ini kemudian diberi nama, Stefanus Kobesi. Nama Stefanus
yang disandang, terinspirasi dari nama seorang martir pertama dalam sejarah
kekristenan, sementara Kobesi, merupakan identitas menurut garis keturunan ayah.
Dua makna besar tersemat dalam identitas dirinya; identitas seorang tokoh
terkenal dalam Gereja Katolik dan identitas garis keturunan. Efen, sapaan
akrabnya merupakan putera kedua setelah Sirilus Antoin Kobesi. Kebahagiaan
keluarga semakin lengkap dengan kelahiran anak perempuan bungsu yang diberi
nama Frederika Roswita Kobesi.
Jejak Juang
Penanaman budaya hidup religius mendapat porsi yang
cukup istimewa. Tentunya disertai suatu harapan bahwa nilai hidup tersebut
menjadi kompas untuk menemukan kesejatian hidup di dalam Tuhan. Oleh sebab itu,
lembaga pendidikan katolik menjadi pilihan untuk memulai menapaki perjuangan
hidup. Ketika menginjak usia 4 tahun 6 bulan, orang tuanya dengan penuh harap memasukkannya
ke TK Sta. Maria Immaculata Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Setelah dinyatakan berhasil, pada 1997 anak yang dikenal pering ini diterima di
SD Yaswari Niki-Niki, suatu lembaga pendidikan katolik yang dikelola oleh
Keuskupan Agung Kupang. Pendidikan berlanjut di SMP St. Aloysius Niki-Niki dari tahun 2004 hingga 2006.
Setelah sekian lamanya, ia mengenyam pendidikan
dasar di TTS, terbersitlah niat untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang
baru. Stefanus secara mengejutkan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan
sebagai seorang calon imam. Anak yang akrab disapa steko di antara teman seasramanya ini memilih sekolah pembinaan
calon imam di Kota Karang, Kota Kupang Seminari Menengah St. Rafael Oepoi,
mengikuti jejak kakak Sirilus Kobesi yang lebih setahun ada di sana. Selama
dalam proses pembinaan, ia telah dihadapkan dengan suatu pengalaman pahit.
Sosok ayahnya yang penuh perhatian dipanggil oleh Sang Khalik. Momen tesebut
disatu pihak bisa memudarkan semangat, tetapi dipihak lain memacu dirinya untuk
memberikan yang terbaik kepada anggota keluarga, walau masih dalam proses
perjuangan yang panjang. Akhirnya, atas dasar keputusan dan refleksi
pribadinya, ia memilih Projo Keuskupan Agung Merauke tempat orientasi perjalanan
panggilannya menjadi seorang imam. Pada paruh kedua 2010, bersama sembilan
teman lainnya, mereka mengikuti pembinaan di TOR Lo’o Damian, Atambua.
Berkisah di Bumi Cenderawasih
Sebelumnya, tempat Fr Steko meniti ilmu masih bisa
ditempuh dengan jalan darat. Tetapi konsekuensi atas niat sucinya untuk menjadi
imam, ia berani mengepak sayap ke bumi cenderawasih, Papua. Proses pembentukan
untuk menjadi pribadi yang taat dihadapinya dengan senyum. Keputusan Uskup
Agung Merauke, Nicholaus Adi Seputra MSC agar para calon imamnya ditempa di
Papua, diterima dengan penuh semangat. Lembaga pembinaan calon imam Seminari
Tinggi Interdiosesan ‘Yerusalem Baru’ dan lembaga pendidikan akademik STFT
‘Fajar Timur’ Abepura, Jayapura, merupakan tempat baginya bersama kesembilan
teman lain untuk dipersiapkan menjadi pelayan umat Allah di tanah Papua.
Suatu langkah penuh keberanian telah diambil oleh
sepuluh pemuda, termasuk Stefanus, untuk meninggalkan pulau Timor demi mengejar
panggilan suci di bumi Cenderawasih, Papua. Kenangan 15 Juli 2011 menjadi bahan
cerita yang penuh makna, karena pada waktu itu Fr Steko bersama teman-teman
seangkatan untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di tanah Papua setelah melewati
14 hari lamanya di dalam perjalanan. Liukan sayap cenderawasih yang mempesona
membuat sosok Fr Steko selalu tersenyum ketika berhadapan dengan setiap orang
yang dijumpainya. Aroma wangi cendana di tanah Timor menjadikannya sebagai
pribadi yang mudah bergaul, tanpa membeda-bedakan.
Rasanya, pesona cenderawasih yang telah berpadu
dengan aroma cendana memberikan semangat untuk selalu setia menjawabi panggilan
Tuhan. Semuanya tampak dalam kesaksian hidup bersama di Kampus dan Asrama.
Santai tapi pasti, tenang, periang, idealis, sederhana, dan canda berbau logika,
itulah yang selalu menghiasi hidup pergaulannya. Sikap ramah sambil bersenyum
manis, tidak dendam, tidak mudah terbakar emosi, itulah yang membuat dirinya
disenangi di dalam pergaulan.
Lentera Meredup
Pada Minggu, 26 Januari 2014, mahasiswa semester
enam di STFT Fajar Timur ini bersama kedua rekannya memutuskan untuk mengikuti
rekreasi bersama umat Kombas St. Ignasius, Paroki Sang Penebus Sentani di
pantai Amay Jayapura. Ingin sekali rasanya menghilangkan segala kepenatan dalam
dirinya dengan bersenang-senang. Tetapi ternyata semuanya terasa sangat
terbalik. Ia hadir dengan tingkah yang unik, tidak seperti biasanya. Mungkin
saja itu adalah tanda-tanda terakhir penuh pesan yang tak mampu ditanggapi oleh
peserta rekreasi, bahkan kedua rekannya sendiri.
Keceriaan yang ditampakkan tak disangka-sangka akan
menjadi momen terakhir. Secara mengejutkan, ia menghilang dari kebersamaan di
pantai dan tak seorang pun yang tahu arah jejaknya. Tak ada kata yang sempat terucap.
Ia pergi tanpa pesan. Di kala matahari mulai menuju peraduannya, ternyata
lentera hidupnya pun ikut meredup bersama sang waktu. Momen makan siang di
pantai Amay saat itu menjadi momen terakhir baginya. Kepakan sayapnya terhenti
dan tak tahu entah dimana jatuhnya.
Situasi penuh ketakutan segera tampak, ketika
peserta rekreasi tidak menemukan lagi sosok Steko. Berbagai macam usaha mulai
dilakukan, tetapi semuanya nihil. Segenap umat kombas bersama dengan BASARNAS
yang turut dilibatkan dalam pencarian terhadap keberadaan Steko tidak
membuahkan hasil. Di tengah cekamnya suasana itu selalu ada harapan semoga ia
ditemukan kembali dalam keadaan yang utuh. Ternyata dugaan itu salah.
Pada Senin 27 Januari 2014 usaha untuk mendapatkan
sosok Steko terus diperjuangkan. Tepat pukul 09.30 WIT, tim SAR menemukannya
dalam keadaan tak bernyawa lagi, dengan posisi terapung di air laut yang tidak
jauh dari bibir pantai. Isak tangis menjadi tak tertahankan menyaksikan kisah
tragis itu. Lenteranya terpadamkan secara mengerikan. Lembaran hidup ditutup
tanpa bisa diduga oleh manusia.
Penulis Naskah : Fr Gendry Nuga & Fr Hardy
Baslone
Pengedit Naskah : Thino Lonis
NYANYIAN JIWA YANG KELABU
Sobat...
Di
pelataran Bumi Cendrawasih ini kita telah banyak berkisah tentang hidup dan
cita kita bersama. Engkau dan kami adalah kita yang satu dalam kasih, satu
dalam cita, dan satu dalam harapan untuk mengejar sebuah mimpi terindah. Kami
bahagia, kami bangga, dan kami suka berada bersamamu serta ingin untuk lebih
lama lagi merajut kisah-kisah itu.
Namun...
Hari
ini jiwa kami berkabut kelabu karena kisah-kisah itu telah menjadi kenangan di
antara duniamu dan duniaku. Senyum, tawa, ocehan, canda logika, dan lantunan
lagu-lagu ‘galau’ yang diiringi petikan gitarmu terus terngiang merdu dalam
benak kami semua yang mencintaimu. Kami sangat menginginkan untuk menghadirkan
kembali bayang-bayang itu dalam sebuah rona bermata pelangi yang senantiasa
saling bertatapan untuk saling berbagi.
Tapi
entalah...
Tuhan
telah menghendaki semuanya untuk menjadi legenda di antara kita. Kami sedih,
kami menangis, kami menyesal, kami kecewa, kami sakit. Jiwa dan raga ini terasa
seakan tersayat sembilu berbaur duka yang mendalam kala hati ini sedang
mengenang dan merindumu. Pedih dan perih memang ketika ‘mawar putih’ nan indah
dan harum mewangi, yang selama ini terpantul dari kedalaman jiwamu telah
berubah menjadi ‘mawar hitam’ berlumur darah. Keindahan dan keharumanmu sirnah
begitu saja ditelan oleh sejuta misteri kematian yang sampai saat ini masih
membersitkan tanya. Sepenggal kalimat yang pernah kau tulis: “kami datang dengan
begitu banyak harapan, ada yang telah melepaskan harapan itu, namun ada juga
yang tetap setia mengejar dan ingin mencapai harapan itu.
SELAMAT
JALAN STEKO, DOA KAMI MENYERTAIMU MENUJU RUMAH BAPA. REST IN PEACE
Penulis Naskah :
Fr Gendry Nuga & Fr Hardy Baslone
Pengedit :
Thino Lonis