Kaka Wock

Kaka Wock
SARTINA (SAHABAT ARTIKEL INDONESIA) - Ruang Blog Untuk Menginspirasikan Wawasan Dan Berbagi Pengetahuan. Salam Kaka Wock !!!

MENYIKAPI MASALAH SOSIAL



EKOLOGI TANGGUNG JAWAB MORAL MANUSIA
Sdra. Johny, MTB
Pembina Asrama Putera KPG, Merauke


A. Ekonomi Modern yang Tamak dan Rakus
Beberapa sumber menyebutkan bahwa luas hutan Indonesia selalu berkurang setiap tahunnya. Penebangan hutan secara liar, pengubahan hutan untuk pertanian kelapa sawit dan aktivitas pertambangan berperan besar terhadap berkurangnya hutan dan rusaknya alam dan ekosistemnya. Menurut Edward Abbey, Novelis AS, yang berperan besar dalam melakukan pengerusakan hutan ialah ekonomi yang tamak dan rakus. Ia menelan gunung yang diselimuti pohon, danau, sungai, serta segala sesuatu di permukaan dan di perut bumi, lalu mengubahnya menjadi gunung rongsokan, limbah, sampah, dan lubang-lubang galian yang menganga. Ia diciptakan dan dijalankan oleh manusia, yang senantiasa mempunyai kecenderungan besar untuk merusak, termasuk menghancurkan alam, dan mengesahkan tindakannya atas nama pendapatan negara dengan memanipulasi “kesejahteraan rakyat” (Ma-ria Hartiningsih, SS, 6/3/2008).
Emil Salim, mantan menteri lingkungan hidup di era almarhum Presiden Soeharto, menilai sektor pertambangan, misalnya merupakan industri yang menggiurkan. Tapi, ongkos akibat praktek pertambangan tak ramah lingkungan sangat besar. Jika dievaluasi, biaya perbaikan atau penanganan pasca bencana, menjadi lebih besar dari pada hasil (revenue) yang diterima pemerintah. Ekonomi berbicara jangka pendek, sedangkan lingkungan jangka panjang. (Kompas, 17/3/2008)
Menjadi jelas bahwa ekonomi modern yang rakus dan tamak itulah yang mengubah segala-galanya. Keseimbangan dan keharmonisan manusia dengan alamnya menjadi sulit ditemukan lagi. Kebebasan hidup masyarakat di sekitar hutan yang penuh makna menjadi hilang ditelan oleh bisingnya peralatan modern yang membongkar alam tanpa perasaan memiliki apapun selain berpikir tentang keuntungan. Pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat dispelekan karena menganggap mereka penghalang pembangunan kesejahteraan pada umumnya. Masyarakat dilempar ke pasar, pasar penambang atau pasar pembalakan. Tetapi itulah soalnya. Pasar yang dianggap memberikan kesejahteraan ternyata memenjarakan mereka, melepaskan mereka dari ikatan sosial, ekologis dan budaya dengan tanahnya dan membuat mereka menjadi semakin miskin. Dan Nurfausi menyebutkan tindakan itu sebagai salah satu bentuk kekerasan pasar baik pasar financial maupun komoditas (Kompas, Jumad, 11 April 2008).

B. Kembalikan Alam ke Komunitas Lokal
Apa yang harus kita buat ketika kerusakan alam yang disebabkan oleh ketamakan dan kerakusan ekonomi modern sulit untuk dipulihkan dan ketika perderitaan masyarakat di sekitar hutan sulit untuk dihindari? Apa yang harus dibuat untuk dapat memulihkan alam yang rusak itu atau setidak-tidaknya menghindari terjadi kerusakan alam yang lebih parah? Mungkin ini salah satu jawabannya, kembali alam ke komunitas lokal. Kita semua perlu memperhatikan dan menghargai keterikatan emosional komunitas (adat/lokal) dengan lingkungan alamnya. Merekalah yang merasakan, mengalami bagaimana rasanya hidup berdampingan secara damai dengan alam (hutan).
Cara pandang mereka tentang alam dan cara mereka menyelesaikan persoalan yang ada di dalamnya pasti berbeda dengan cara pandang orang yang tidak pernah terlibat atau menggauli secara langsung hidup dialam-hutan. Artinya ketika komunitas lokal sehati sejiwa berjuang mempertahankan tanah (hutan) mereka dari cengkaraman penguasa dan pemodal, mereka melakukan itu karena mereka sudah merasa menyatu dengan alam yang secara turun temurun telah menghidupi mereka.
Hutan adalah tempat mereka menggantungkan hidupnya. Di hutan mereka-meraka mengambil sayur-mayur, buah-buahan, tanaman obat-obatan tradisional, memburu hewan liar agar bisa makan daging atau menjualnya. Hutan atau alam sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup mereka.
Apa yang disebut kearifan lokal biasanya lahir dari pengalaman hidup mereka bersama dan bersatu  dengan alam. Kesatuan hidup masyarakat dengan alam  menghasilkan ikatan emosional tertentu.  Dalam hal ini jika alam dirusakan atau dihancurkan oleh kepentingan ekonomi dalam skala besar, maka kearifan lokal itu pun ikut terenggut dari akar budaya masyarakat. Dan yang paling tragis ialah masyarakat yang selama hidupnya tergantung dalam kemurahan alam ikut terusir atau bahkan bisa terancam punah.
Negara dan pemimpin yang masih punya nurani tentu tidak ingin rakyatnya hidup dalam penderitaan dan penuh tekanan. Biarkan komunitas lokal berbicara tentang komunitas mereka. Biarkan mereka berbicara mengenai pentingnya ikatan hidup mereka dengan alam yang telah menopang kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka. Jika pemerintah hanya memperhatikan nilai keuntungan dalam aset alam atau hutan dan menghalalkan penghancuran hutan, artinya pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap kerusakan dan perusakan alam serta kehancuran kehidupan yang ada di dalamnya.
C. Masalah Ekologi adalah Masalah Moral
Dalam pesan kepausan pada Hari Perdamaian Dunia 1990, Sri Paus Yohanes Paus II mengingatkan duduk masalah lingkungan hidup. Dikatakan, masalah kemerosotan lingkungan hidup bukan sekedar masalah salah pengaturan lingkungan hidup dan pengelohan sumber alam, tetapi masalah kemerosotan itu sungguh merupakan masalah moral dan religius. Masalah lingkungan hidup adalah masalah yang berhubungan dengan makna dan nilai-nilai kehidupan manusia dan kosmos. Alam semesta kita merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan dan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemerosotan hidup moral manusia akan tercermin dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan hidup.
Masalah lingkungan hidup termasuk masalah moral sebab kasus-kasus yang muncul seputar lingkungan hidup tak mungkin begitu saja dipisahkan dari tingkah laku, tindakan dan campur tangan manusia dalam lingkungan hidupnya. Penyalahgunaan dan penyelewengan dalam proses pengolohan lingkungan hidup menimbulkan dampak samping yang tak mungkin dihindari. Dimensi antroposentris masih menonjol dalam pembicaraan dan penanganan lingkungan hidup. Manusia ‘seakan-akan’ menjadi satu-satunya tolak ukur pembicaraan dan pembahasan tentang lingkungan hidup. Terkadang manusia menjadikan dirinya sebagai ‘pusat’ lingkungan hidup, sehingga mereka merasa sungguh berhak mengoloh lingkungan hidup sesuai dengan kepentingan mereka.
Sebagai masalah moral, kasus lingkungan hidup sebenarnya berakar dalam suatu konteks kehidupan dan keadaan sosial, ekonomi dan sistem perpolitikan dalam suatu negara. Tidak sedikit masalah lingkungan hidup muncul karena ‘keterpaksaan’ ekonomis yang menimpa kehidupan masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sebagai contoh, kasus pembakaran semmak-belukar dan daerah bergambut, yang dilakukan sejumlah petani sederhana. Bagi mereka, membakar lahan pada musim kemarau merupakan satu-satunya kesempatan terbaik sebelum bercocok tanam. Satu-satunya jalan keluar terbaik adalah ‘membakar’ lahan bersemak belukar dan bergambut. Tanpa demikian, mereka sulit mendapatkan lahan untuk bercocok tanam dan kesuburan tanah akan sangat menipis. Lalu, harus bagaimana? Apakah mereka begitu saja dilarang untuk menghentikan kegiatan membakar lahan baru? Kalau tidak dilarang, maka kasus kabut ‘kabut asap’ akan terulang kembali. Kalau dilarang, bagaimanakah mereka harus mempersiapkan lahan baru untuk pertanian?
Pada dasarnya, kasus lingkungan hidup adalah masalah moral, tetapi dari sisi lain masalah moral tak mungkin begitu saja dilepaskan dari keadaan hidup sosio-ekonomis dan politis masyarakat tertentu. Yang jelas, masalah lingkungan hidup merupakan pengujian tanggung jawab manusia dalam menghadapi peristiwa yang tengah terjadi di sekitar lingkungan hidupnya. Manusia melihat alam ciptaan adalah sesama dan mereka pun merupakan subjek moral dalam arti menjadi alamat tanggung jawab moral manusia. Konsern terhadap persoalan lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari konsern pada perubahan atau metanoia manusia. Butuh suatu kesadaran baru tentang makna menjadi manusia di tengah alam ciptaan, sehingga dapat dibangun suatu model sikap dan relasi yang baru dengan alam ciptaan. Alam ciptaan bukanlah objek, tetapi subjek yang memiliki tujuannya sendiri, lepas dari kepentingan manusia.
Yang dituntut dari manusia modern adalah kesadaran akan keadilan terhadap alam ciptaan. Sikap adil terhadap alam ciptaan bertumbuh dari kesadaran keterkaitan kehidupan di antara semua makhluk ciptaan dan bahwa merusak ciptaan yang satu akan berdampak negatif pada ciptaan lainnya. Penghargaan terhadap hak atas hidup merupakan suatu tuntutan moral yang harus dipenuhi manusia, sehingga seluruh kehidupan entah pada manusia, entah pada makhluk ciptaan lainya dipelihara dan dijaga keutuhannya. Tuntutan seperti ini pantas dialamatkan pada manusia karena dialah satu-satunya makhluk moral. Akhirnya peringatan Paus Yohanes Paulus II pantas diperhatikan: persoalan ekologi pada dasarnya adalah persoalan moral. Pemulihan dan penanggulangan masalah ekologi harus berangkat dari pembaruan dan komitmen moral pada makhluk yang disebut manusia.


Daftar Pustaka:
1.       Majalah Gita Sang Surya: Soal Ekologi adalah Soal Moral, Editorial, Edisi, Maret-April 2008.
2.       Majalah Gita Sang Surya: Alam Menyangkut Hidup dan Matinya Manusia, Valens Dulmin, Edisi, Mei-Juni 2008.
3.       Majalah Perantau: Tinjauan Moral atas Pelestarian Lingkungan Hidup, William Chang, OFMCap, Edisi, September-Oktober. 2000.
4.       Majalah Perantau: Fransiskus dari Asisi dan Aneka Ragam Ciptaan, Alex Lanur, OFM, Edisi, Mei-Juni 2002.